Di sebuah negara
terdapat kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintah. Kekuasaan itu harus
ditaati dan dipatuhi oleh semua warga negaranya. Kebijakan politik pun juga
perlu ditaati, termasuk dalam kebijakan yang akan dibuat pada saat pelaksanakan
pesta demokrasi.
Kebijakan politik
mengenai pemilu menyangkut pada kebijakan keamanan. Pemerintah juga baru saja
membentuk Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang penanganan
gangguan keamanan dalam negeri dan nota kesepahaman (MOU) antara Polri dan TNI
tentang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat. Esensi kebijakan keamanan nasional itu ditujukan untuk mengatasi
gangguan keamanan dalam negeri, yaitu keamanan yang di siapkan oleh pemerintah
untuk mengantisipasi dalam menyikapi situasi politik, walaupun kebijakan ini
belum tentu berhasil.
Dalam RUU Kamnas
terdapat banyak masalah, baik secara redaksional maupun substansial. Penjelasan
tentang spektrum, jenis, dan bentuk ancaman keamanan nasional dalam RUU ini
masih terlalu luas, bersifat karet, dan multitafsir. Bentuk ancaman tak bersenjata
dalam pasal 17 masih memasukkan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai
moral dan etika bangsa, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi
sebagai bentuk ancaman keamanan nasional. Bahkan, presiden masih dapat
menentukan ancaman keamanan nasional yang sifatnya potensial dan aktual.
Maksud dengan kebijakan
dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama
DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR,
seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan Inpers dan MOU pun tidak bisa menghindarkan
dari konflik saat pemilukada. Justru kehadiran inpres dan MOU akan memperkeruh
dinamika konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Selama ini pendekatan
keamanan yang dilakukan dalam mengatasi beberapa konflik justru berujung pada
terjadinya lingkaran kekerasan dan pelanggaran HAM.
Menjelang pemilu 2014
mendatang, kelas menengah dalam politik, seperti mahasiswa, aktifis
prodemokrasi belum menginginkan perubahan politik. Kelas menengah Indonesia
lebih memilih zona aman dibanding faktor perubahan politik. Kelompok ini
padahal sadar akan pengetahuan politik dan juga bisa melakukan perubahan
politik hanya dengan kekuatan masyarakat sipil.
Partisipasi politik
dijelaskan sebagai usaha terorganisir oleh warga negara untuk memilih
pemimpin-pemimpin mereka untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan
umum. Dalam pemilukada partisispasi politik mempunyai peran yang penting. Pada
kelas pemula diperlukan pendidikan politik. Karena dalam hal ini, partisipasi
politik merupakan hak individu dalam proses pemilukada. Perlunya juga
pendidikan politik agar memahami sistem politik di Indonesia.
REFERENSI
Rafael Raga Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
No comments :
Post a Comment