1.1 Latar Belakang
Dalam sosialisasi politik, terdapat beberapa agen yang dipandang memegang peranan penting, antara lain keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan media massa. Sifat sosialisasi politik bervariasi menurut waktu dan lingkungan yang meberinya kontribusi, seperti sifat dari pemerintah dan derajat serta sifat dari perubahan.
Pola-pola komunikasi politik adalah komunikasi pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang dikembangkan oleh suatu negara menentukan bentuk sosialisasi politik dan partisipasi politik yang terjadi di negara yng bersangkutan. Dalam bentuknya yang paling sederhana, proses komunikasi terdiri atas pengirim, pesan, dan penerima. Ada beberapa komunikasi politik dalam menentukan corak perilaku insan politik, diantaranya tinjauan umum tentang komunikasi, pola-pola komunikasi politik dan salurannya, dan pembentukan pendapat umum.
Partisipasi politik berbeda-beda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Didalam suatu masyarakat terdapat orang-orang atau kelompok-kelompok yang bersikap apatis terhadap urusan-urusan politik dan orang-orang yang teralienasi, terasing dari kehidupan politik. Selain itu, terdapat juga orang-orang yang melakukan kekerasan politik.
Penting untuk diperhatikan bahwa tanpa komunikasi politik yang efektif, maka aktivitas politik akan kehilangan bentuk.
Rekruitmen politik fungsi merupakan salah satu elementer dimana pola dan mekanismenya, yaitu salah satu indikasi kualitas sebuah partai politik.
Masalah ini menarik dibahas karena dengan tema ini kita dapat mengetahui perkembangan politik di masyarakat serta proses sosialisasi politik di Indonesia, komunikasi politik yang dijalankan oleh setiap partai yang berbeda-beda, dan rekruitmen politik terhadap masyarakat dalam memperkuat sistem politik setiap partai.
1.2 Perumusan Kajian atau Masalah
Rumusan masalah pada makalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana proses sosialisasi dan partisipasi politik yang tersedia di
Indonesia saat ini?
2. Bagaimana perbedaan sistem politik Indonesia pada masa pemerintahan
orde lama dan orde baru dengan masa yang sekarang?
3. Apakah partai politik melakukan rekruitmen secara demokratis untuk
ditempatkan pada jabatan-jabatan politis?
2.1 Teori atau Konsep atau Tinjauan Pustaka yang berkaitan
Politik merupakan suatu bidang studi khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan-permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Pada umumnya apa yang disebut politik itu berkaitan dengan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan publik, tujuan-tujuan masyarakat sebagai keseluruhan, dan bukan tujuan-tujuan pribadi seseorang. Yang disebut politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.
Ada dua macam teori politik, yaitu teori politik yang memiliki dasar moral dan menentukan norma-norma untuk perilaku politik, teori politik yang membahas fenomena dan fakta politik tanpa mempersoalkan.
Permasalahan dalam tema ini menggunakan perspektif konflik karena seperti yang diketahui dalam politik terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan didalam mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai sehingga akan mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
2.2 Analisa dan Pembahasan
Melalui sosialisasi politik individu-individu diharapkan mau dan mampu berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan politik. Proses sosialisasi politik melibatkan orang-orang dari generasi tua maupun dari generasi muda. Proses ini dimulai sejak dini dimana keluarga, sekolah, kelompok kerja, kelompok sebaya, dan media massa berperan sebagai pelaku sosialisasi politik. Dengan proses sosialisasi politik inilah, para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Metode sosialisasi dapat berupa pendidikan politik dimana masyarakat mengenal nilai, norma, dan simbol politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidikan, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dalam rangka pemahaman dan pengalaman nilai, norma, dan simbol politik yaang dianggap ideal dan baik.
Bagi para politisi, sosialisasi politik tak mungkin dihindari karena mereka harus belajar menjadi politisi yang baik dan bertanggung jawab.
Argumentasi Peter L Berger mengungkapkan “Pengertian partisipasi akan sangat terbatas kalau elite dibiarkan mendefinisikan suatu situasi dengan sepenuhnya mengabaikan situasi ini telah didefinisikan oleh mereka yang hidup di dalamnya”. Hal ini berarti, partisipasi mencakup akses warga dengan mendudukkannya sebagai aktor kunci pembuat kebijakan.
Dalam partisipasi politik, diperlukan adanya gerakan-gerakan sosial yang berarti berbicara tentang aktivitas kelompok-kelompok sosial dalam menyampaikan aspirasi rmereka kepada para pemimpin masyarakat. Melalui gerakan-gerakan sosial kelompok yang ada dalam suatu masyarakat dapat melibatkan diri dalam politik. Dengan kata lain, gerakan-gerakan sosial merupakan cara kelompok-kelompok yang ada dalam suatu masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan politik. Tetapi, cara ini bersifat kurang terorganisir, dan tidak kontinu. Cara partisipasi yang lebih terorganisir dan kontinu adalah melalui partai politik.
Sosialisasi dan partisipasi politik kaitan hubungannya sangat erat dimana untuk mencapai suatu politik harus belajar terlebih dahulu tentang dunia perpolitikan yang kemudian bisa berpartisipasi didalam partai.
Misalnya, seseorang yang mengajukan diri sebagai anggota legislatif, dia harus belajar dulu tentang politik, kemudian baru bisa berpartisipasi dalam partai dengan melakukan kampanye.
Pada masa orde lama, Soekarno memakai sestem demokrasi terpimpin. Dalam sistem politik ini, struktur fungsi dan mekanisme yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial dan Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yag cepat berkembang. Sistem politik pada periode orde baru sangat disayangkan karena wawasan kebanyakan yang sangat lemah dan bersifat dogmatis atau doktrin yang terlalu berlebihan.
Politik di Indonesia lahir Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela dengan adanya ketidakadilan dalam sosial, baik pemerintah maupun rakyat kecil sehingga timbullah korupsi yang menimbulkan kurangnya membangun keterbukaan politik.
Misalnya, posisi sebagai incumbent membuat Atut dan Jawara kelompok Rawu leluasa memaksimalkan posisinya sebagai Plt. Gubernur untuk meraih dukungan seluas mungkin. Aspek yang pertama kali “dibenahi” adalah menjadikan birokrasi sebagai mesin politik yang loyal dan kuat. Salah satu yang mencuat ke publik adalah pergantian sekda dari Chaeron Muchsin ke Hilman Nitiamidjaja dan pencopotan 12 pejabat eselon 2 di lingkungan pemerintah Provinsi Banten. Pergantian yang dilaksanakan menjelang Pilgub langsung menimbulkan banyak praduga bahwa itu adalah upaya Atut membersihkan loyalis Djoko dan menjamin mesin birokrasi berpihak padanya.
Sistem politik pada saat ini sudah semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan banyaknya partai politik yang saling bersaing antar satu partai dengan partai yang lainnya. Kemajuan ini dapat dilihat daripada masa reformasi tahun 1998 telah membuka peluang masyarakat mendirikan partai, dan menghadapi pemilu 1999 dengan hadirnya partai politik sebanyak 48 partai yang terdiri dari lima besar partai politik saat itu, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, dan PAN. Namun, ada satu hal yang belum berubah dalam budaya politik di Indonesia, yaitu masih kuatnya budaya politik primordial, masyarakat masih menggantungkan aspirasi politiknya kepada tokoh karismatik sehingga ke arah demokratisasi.
Dengan adanya banyak partai inilah menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat karena mereka memiliki keraguan terhadap kader-kader yang berperan dalam partai tersebut.
Partai politik melakukan rekruitmen secara demokratis dimana partai politik harus melaksanakan rekruitmen yang adil, transparan, dan demokratis. Hal itu dilakukan pada dasarnya untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat untuk menyejahterahkan dan menjamin kenyamanan dan kemanan hidup setiap warga negara. Partai politik yang memiliki kader-kadernya melakukan rekruitmen secara demokratis akan menentukan tempat atau jabatan yang sesuai dengan kemampuan kualitas dari partai politik itu sendiri.
Dalam tema ini mendukung suatu perspektif konflik karena terjadi persaingan dan perdebatan antar kader dan partai untuk mencapai suatu tujuan tertentu dimana mereka merebutkan posisi penting sehingga sering terjadi keributan dalam membahas integrasi.
3.1 Kesimpulan
Setiap negara memiliki nilai-nilai dan etika politik yang dipandang baik yang berlaku dinegara yang bersangkutan terutama Indonesia. Partai politik harus memerankan fungsinya dengan menyosialisasikan nilai-nilai dan etika politik yang berlaku kepada warga negara. Selain itu, diperlukan juga komunikasi politik dalam mengomunikasikan informasi, isu, gagasan, dan program-program partai sehingga dapat diketahui oleh rakyat. Dalam partai juga diperlukan partisipasi antara kader-kader politik dengan masyarakat. Partai politik juga membuat suatu kebijakan terhadap kader-kader politik melalui rekruitmen politik yang berkualitas serta penerapan demokrasi yang baik.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam pembangunan Indonesia lebih baik lagi dengan cara kembali lagi kondisi partainya pada tahun 1977-1997 yang jumlahnya hanya tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP dibandingkan masa yang sekarang jumlah partainya sebanyak 12 partai.
Semakin banyak partai, maka semakin berkurangnya kinerja dan pelaksanaan kadernya dalam partai.
Semakin banyak partai, maka semakin tinggi partisipasi masyarakat untuk bergabung dalam suatu partai.
DAFTAR PUSTAKA
Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Basrowi, dkk. 2012. Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fejournal.undip.ac.id%2Findex.php%2Fpolitika%2Farticle%2Fdownload%2F156%2F102&ei=64leUviwK4aLrQfpkoCgCw&usg=AFQjCNH7yswXXI-AOBzPTaEy8JG-ol9Q5g&sig2=P1oX3cAf7mkRIYiilSox2w&bvm=bv.54176721,d.bmk
Saturday, October 19, 2013
For mr. H :"
Sakit!
Sakit yang gua rasakan sekarang ini
Entah mengapa saat gua melihatnya rasa sakit itu muncul
Apakah gua benar-benar jatuh cinta padanya?
Gua masih berpikir kalo gua rasa gua ini dengan dia itu hanya sekilas saja
Tapi mengapa gua merasa menyesal setelah kami saling menjauh?
Bukankah itu yang gua inginkan saat kami dulu saling dekat?
Yang ada dipikiran gua saat itu adalah JANGAN JATUH CINTA!
Karena gua gak sanggup bila menerima kenyataan dia akan menjauh
setelah tahu masa lalu gua gua gak mau nantinya gua jadi sakit hati dengan cara itulah gua menghindar darinya Tapi setelah menjauh mengapa rasa itu ada?
Kalo dia tersenyum sama gua, rasanya gua seneng banget apalagi nyapa sambil tersenyum, rasanya mau terbang *lebay :D
Kenapa rasanya gua ingin mengulang masa setahun yang lalu? :(
Apakah benar dia punya pacar atau gebetan baru?
Apakah tanda dari status BBM dan PM dia yang waktu itu?
Entahlah :"
Sakit yang gua rasakan sekarang ini
Entah mengapa saat gua melihatnya rasa sakit itu muncul
Apakah gua benar-benar jatuh cinta padanya?
Gua masih berpikir kalo gua rasa gua ini dengan dia itu hanya sekilas saja
Tapi mengapa gua merasa menyesal setelah kami saling menjauh?
Bukankah itu yang gua inginkan saat kami dulu saling dekat?
Yang ada dipikiran gua saat itu adalah JANGAN JATUH CINTA!
Karena gua gak sanggup bila menerima kenyataan dia akan menjauh
setelah tahu masa lalu gua gua gak mau nantinya gua jadi sakit hati dengan cara itulah gua menghindar darinya Tapi setelah menjauh mengapa rasa itu ada?
Kalo dia tersenyum sama gua, rasanya gua seneng banget apalagi nyapa sambil tersenyum, rasanya mau terbang *lebay :D
Kenapa rasanya gua ingin mengulang masa setahun yang lalu? :(
Apakah benar dia punya pacar atau gebetan baru?
Apakah tanda dari status BBM dan PM dia yang waktu itu?
Entahlah :"
Monday, October 14, 2013
Analisis Kebijakan MK. Sosiologi Politik
Di sebuah negara
terdapat kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintah. Kekuasaan itu harus
ditaati dan dipatuhi oleh semua warga negaranya. Kebijakan politik pun juga
perlu ditaati, termasuk dalam kebijakan yang akan dibuat pada saat pelaksanakan
pesta demokrasi.
Kebijakan politik
mengenai pemilu menyangkut pada kebijakan keamanan. Pemerintah juga baru saja
membentuk Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang penanganan
gangguan keamanan dalam negeri dan nota kesepahaman (MOU) antara Polri dan TNI
tentang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat. Esensi kebijakan keamanan nasional itu ditujukan untuk mengatasi
gangguan keamanan dalam negeri, yaitu keamanan yang di siapkan oleh pemerintah
untuk mengantisipasi dalam menyikapi situasi politik, walaupun kebijakan ini
belum tentu berhasil.
Dalam RUU Kamnas
terdapat banyak masalah, baik secara redaksional maupun substansial. Penjelasan
tentang spektrum, jenis, dan bentuk ancaman keamanan nasional dalam RUU ini
masih terlalu luas, bersifat karet, dan multitafsir. Bentuk ancaman tak bersenjata
dalam pasal 17 masih memasukkan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai
moral dan etika bangsa, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi
sebagai bentuk ancaman keamanan nasional. Bahkan, presiden masih dapat
menentukan ancaman keamanan nasional yang sifatnya potensial dan aktual.
Maksud dengan kebijakan
dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama
DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR,
seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan Inpers dan MOU pun tidak bisa menghindarkan
dari konflik saat pemilukada. Justru kehadiran inpres dan MOU akan memperkeruh
dinamika konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Selama ini pendekatan
keamanan yang dilakukan dalam mengatasi beberapa konflik justru berujung pada
terjadinya lingkaran kekerasan dan pelanggaran HAM.
Menjelang pemilu 2014
mendatang, kelas menengah dalam politik, seperti mahasiswa, aktifis
prodemokrasi belum menginginkan perubahan politik. Kelas menengah Indonesia
lebih memilih zona aman dibanding faktor perubahan politik. Kelompok ini
padahal sadar akan pengetahuan politik dan juga bisa melakukan perubahan
politik hanya dengan kekuatan masyarakat sipil.
Partisipasi politik
dijelaskan sebagai usaha terorganisir oleh warga negara untuk memilih
pemimpin-pemimpin mereka untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan
umum. Dalam pemilukada partisispasi politik mempunyai peran yang penting. Pada
kelas pemula diperlukan pendidikan politik. Karena dalam hal ini, partisipasi
politik merupakan hak individu dalam proses pemilukada. Perlunya juga
pendidikan politik agar memahami sistem politik di Indonesia.
REFERENSI
Rafael Raga Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Metode Penelitian Sosial
FENOMENA
SOSIAL KEMISKINAN
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang memiliki isu kemiskinan sebagai salah satu isu yang perlu
dituntaskan. Angka kemiskinan di Indonesia terjadi peningkatan atau penurunan
disetiap tahunnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya
pengangguran, tingkat pendapatan seseorang, kurangnya pengetahuan, dll. Apabila
jumlah pengangguran meningkat, maka angka kemiskinan di Indonesia bertambah.
Pengangguran lebih dominan dari lulusan sarjana karena ketatnya persaingan
dalam pekerjaan. Perusahaan atau bidang tertentu lebih memilih lulusan sarjana
yang kemampuan intelektualnya sangat baik. Tetapi, bila mereka punya bakat atau
keahlian dalam suatu bidang, mereka bisa membuka lowongan kerja untuk orang
lain sehingga dapat membantu mengatasi angka kemiskinan dari pengangguran itu.
Malah diantara mereka lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Tingkat
kemiskinan menyebabkan jumlah kriminalitas meningkat, seperti perampokan.
Dengan merampok, mereka menghasilkan uang tanpa bekerja susah payah. Penyebab
kemiskinan secara kultural dapat ditemui dari sifat individu, keluarga, dan
lingkungan. Kelemahan dari individu tersebut sebagai kelemahan atas dirinya
sendiri, seperti penghematan, kurang berusaha, tidak bermoral, dan kemalasan.
Penduduk miskin di desa-desa kebanyakan petani penggarap karena memiliki sistem
pendapatan yang didapat tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada tahun 2013, tingkat kemiskinan
lebih tinggi, yakni sebesar 10,5%. Ini dikarenakan shock akibat kenaikan harga
BBM bersubsidi yang berujung harga kebutuhan pokok melonjak. Sebagai contoh,
tingkat kemiskinan di Palembang turun drastis 13,78 dari 2006 lalu yang
mencapai 20,99%. Masalah ini terjadi karena masih banyak pekerja yang mendapat
upah dibawah standar UMP, apalagi mayoritas tenaga kerja di Sumsel bergerak
pada sektor pertanian. Banyak petani di Sumsel yang tidak memiliki lahan atau
hanya buruh tani.
Dalam hal ini, penuntasan kemiskinan
perlu diperhatikan oleh pemerintah, mungkin dari segi kesempatan kerjanya
ditambah lagi.
Fenomena kemiskinan ini menarik dibahas
karena angka kemiskinan di Indonesia ini semakin bertambah dan sepertinya tidak
ada solusi. Fenomena ini menggunakan data kualitatif karena menggunakan teknik
studi pustaka/ literatur, pengamatan.
Sosiologi Politik
Sosialisasi
Politik
Pengertian sosialisasi politik, secara
sederhana dapat dipahami melalui menambahkan atau mengaitkan definisi yang ada
tentang sosialisasi dengan politik. Dengan memasukkan konsep politik para ahli,
maka definisi sosialisasi politik dengan menggunakan pemikiran Brinkerhoff dan
White adalah “suatu proses belajar peran, status, dan nilai yang diperlukan
untuk keikutsertaan dalam institusi politik.” Jadi, kesimpulan tentang
sosialisasi politik adalah suatu transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma,
dan perilaku esensialdalam kaitannya dengan politik agar mampu berpartisipasi
efektif dalam kehidupan politik
Dalam sosialisasi politik, terdapat
beberapa agen yang dipandang memegang peranan penting, antara lain keluarga,
sekolah, kelompok teman sebaya, dan media massa. Didalam sosialisasi keluarga,
pola sosialisasinya dapat berlangsung dalam dua bentuk, yaitu sosialisasi
represif dan sosialisasi partisipasif. Sosialisasi represif dimana menekankan
pada kepatuhan anak, penghukuman terhadap perilaku yang keliru, komunikasi
sebagai perintah, dan lain-lain. Sosialisasi partisipasif menekankan pada
otonomi anak dan memberikan imbalan terhadap perilaku anak yang baik. Pola
sosialisasi politik yang berbeda ini akan memengaruhi anak dalam tingkat
kemandirian, kepemimpinan, dan kemampuan dia untuk bekerja dengan orang lain.
Dalam kaitannya dengan sosialisasi politik, anak yang mengalami sosialisasi
akan sangat memerhatikan posisi merek sta dalam hubungan dengan orang lain.
Mereka akan sangat sadar dengan posisi mereka dalam kaitannya dengan
kepemilikan kekuasaan. Mereka akan memperlakukan orang lain sesuai dengan
status sosial ekonomi termasuk jabatannya mereka. Sifat sosialisasi politik
bervariasi menurut waktu dan lingkungan yang meberinya kontribusi, seperti
sifat dari pemerintah dan derajat serta sifat dari perubahan.
Ada beberapa hal dalam mendiskusikan
sekolah sebagai agen sosialisasi, diantaranya sekolah sebagai sistem sosial,
gaya kepemimpinan guru, dan learner-centered versus teacher-centered. Agar
sistem sosial berfungsi efektif sebagai satu kesatuan harus terdapat paling
kurang suatu tingkat solidaritas diantara bagian atau individu yang termasuk
didalamnya. Sistem sosial seperti halnya sistem yang lain, memiliki persyaratan
fungsional AGIL. Dalam sistem sosial, kebutuhan fungsional AGIL diemban
beberapa subsistem, seperti sistem ekonomi polity (sistem politik), societal
(sistem masyarakat), dan fiduciary.
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat
dibagi dalam 3 jenis, yaitu otokratik, demokratik, dan laisser-faire. Gaya
kepemimpinan guru disekolah dapat memengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan
cara bertindak siswa dikemudian hari.
Komunikasi
Politik
Komunikasi politik merupakan suatu
elemen yang dinamis dan yang menentukan sosialisasi politik dan partisipasi
politik. Pola-pola komunikasi politik adalah komunikasi pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap-sikap yang dikembangkan oleh suatu negara menentukan bentuk
sosialisasi politik dan partisipasi politik yang terjadi di negara yng
bersangkutan. Dalam hal ini, komunikasi politik menentukan corak perilaku insan
politik. Partai politik sebagai komunikator yang tidak hanya menyampaikan
segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana
diperankan oleh partai politik dinegara totaliter, tetapi juga menyampaikan
inspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, proses komunikasi terdiri atas pengirim,
pesan, dan penerima. Ada beberapa komunikasi politik dalam menentukan corak
perilaku insan politik, diantaranya tinjauan umum tentang komunikasi, pola-pola
komunikasi politik dan salurannya, dan pembentukan pendapat umum.
Penting untuk diperhatikan bahwa tanpa
komunikasi politik yang efektif, maka aktivitas politik akan kehilangan bentuk.
Untuk itu, sumber pesan, misalnya seorang calon presiden atau seorang calon
legislatif dituntut untuk menyampaikan pesan yang jelas kepada para pendukungnya
dan masyarakat luas. Bentuk komunikasi ini dapat disampaikan melalui media
elektronik atau media massa, misalnya koran, majalah, radio, televisi.
Jika di negara-negara demokratis,
terutama di negara industri maju diberlakukan prinsip komunikasi bebas, maka di
negara-negara totaliter dan otoriter diberlakukan sistem pengawasan yang sangat
ketat berbagai saluran komunikasi. Pengawasan yang ketat tersebut dimungkin
karena rezim yang berkuasa memang mampu mengendalikan isi informasi yang
disebarluaskan oleh media massa.
Seorang diktator atau seorang tiran
memang sangat berkepentingan dengan pembentukan pendapat umum yang sesuai
dengan garis politik yang ditetapkan.
Robert Lane dan David Sears berpendapat
bahwa pendapat umum memberikan pengarahan. Ini berarti, bahwa beberapa individu
akan menyetujui satu pandangan tertentu, sedangkan individu yang lain
menentangnya.
Ciri-ciri dari pendapat adalah
intensitas dan pentingnya masalah. Pendapat yang kuat akan lebih sering
dilontarkan ketimbang pendapat yang dianggap kurang kuat. Pendapat yang kuat
itu secara efektif memengaruhi perilaku orang yang mempercayainya.
REFERENSI
Dr. Basrowi, dkk. 2012. Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)